Sebelum melanjutkan ke cerita rakyat asli Indonesia, belajar pada cerita rakyat Jepang dulu yuk...
Duluuuu sekali di Jepang hiduplah seorang ksatria yang gagah berani. Orang-orang memanggilnya Tawara Toda atau Juragan Beras. Nama aslinya adalah Fujiwara Hidesato. Penduduk memiliki alas an kuat kenapa ia diberi gelar Juragan Beras dan berikut ini adalah kisahnya.
Suatu hari Hidesato pergi berkelana. Sebagai seorang ksatria, ia tidak betah duduk berlama-lama tanpa melakukan apapun. Maka dengan membawa dua pedangnya dan busur raksasanya, ia berangkat mencari petualangan.
Setelah berjalan cukup jauh ia sampai di sebuah jembatan yang menghubungkan kedua sisi Danau Biwa yang cantik. Ia baru saja melewati undakan menaiki jembatan ketika ia melihat bahwa di tengah jembatan melintang seekor naga yang sangat besar. Tubuhnya lebih besar dari batang pohon beringin dan menutupi seluruh badan jembatan. Kepalanya bersandar di sisi jembatan di seberang Danau Biwa sementara buntutnya melingkar di depan hidung Hidesato. Monster itu tampak sedang tidur. Kepulan asap tkeluar dari lubang hidungnya seperti asap yang keluar dari cerobong.
Awalnya Hidesato ampir mengurungkan niatnya untuk menyebrangi jembatan. Namun jiwa ksatriamya menuntutnya untuk meneruskan perjalanan. Maka disingkirkannya rasa takutnya. Ia mulai berjalan di atas tubuh si Naga. Cring…cring suara sepatu besinya beradu dengan sisik naga yang keras.
Ia baru saja turun dari jembatan ketika ia mendengar seseorang memanggilnya. Ia terkejut saat menengok ternyata naga raksasa itu telah hilang. Di tengah jembatan itu kini berdiri seorang laki-laki. Ia membungkuk dalam-dalam kea rah Hidesato. Di kepalanya sebuah mahkota berbentuk naga bertengger. Baju yang dipakainya pun bercorak sisik naga. Mungkinkah ia penjelmaan naga raksasa tadi? Hidesato segera mendekatinya.
“Apa kau yang memanggilku?” tanya Hidesato.
“Benar tuan,” kata orang asing itu. “Aku punya satu permohonan. Maukah Tuan mengabulkannya?”
“Kalau aku bisa, pasti aku lakukan. Tapi siapakah anda?” tanya Hidesato.
“Saya adalah Raja Naga di danau ini. Rumahku ada di dasar danau tepat di bawah jembatan ini,” katanya.
“Apa yang bisa kubantu?” tanya Hidesato.
“Kami sudah tinggal di danau ini selama bertahun-tahun. Kami adalah keluarga besar. Namun beberapa tahun ini kami hidup dalam ketakutan karena raja Kaki seribu yang jahat sudah mengetahui tempat kediaman kami, dan setiap malam ia datang untuk memangsa keluargaku satu persatu. Aku tidak berdaya melawannya. Jika tidak dihentikan, seluruh keluargaku dan bahkan aku sendiri akan jadi mangsanya. Oleh karena itu aku mencoba mencari seorang pemberani yang bisa menolong kami. Aku sengaja menunggu di jembatan ini dengan bentuk seekor naga yang menakutkan dengan harapan ada seseorang yang tidak takut melewatiku. Namun semua orang lari ketakutan begitu melihatku, andalah orang pertama yang berani melangkahi tubuhku. Jadi aku yakin anda adalah orang yang tepat untuk aku mintai pertolongan. Maukah anda membantu kami membunuh raja Kaki seribu itu?” kata raja Naga.
Hidesato merasa kasihan mendengar cerita tersebut dan ia berjanji untuk membantu semampunya.
Karena raja Kaki seribu selalu datang setiap malam untuk mencari mangsanaya, Hidesato memutuskan untuk menunggunya di istana raja Naga.
Hidesato pernah mendengar keindahan istana raja Laut yang luar biasa dimana semua dayang dan prajuritnya adalah ikan-ika laut. Namun istana raja Naga di dasar danau Biwa ini pun sangat mengagumkan. Dinding-dinding istana yang megah terbuat dari batu marmer putih yang berkilau. Ikan-ikan emas yang gemulai, kepiting-kepiting merah dan kerang-kerang perak menyambut kedatangan raja dan dirinya. Sangat mengherankan bagi Hidesato karena meskipun ia berada di dalam air, ia tetap bisa bernafas dan pakaiannya tidak basah sedikit pun.
Hidangan makan malam pun disajikan. Makanannya sangat luar biasa, terdiri dari daun dan bunga lotus. Sumpitnya terbuat dari kayu eboni yang langka. Para penari yang adalah ikan-ikan emas berlenggok dengan gemulai diiringi musik yang dimainkan 10 ekor kepiting merah. Mereka terus menghiburnya hingga tengah malam ketika semua penghuni istana bergegas menyembunyikan diri. Tinggal raja Naga yang menemani Hidesato di balkon istana. Lalu dari kejauhan terdengar bunyi gemuruh seakan-akan suara ribuan tentara sedang berlari mendekat. Ternyata itu adalah langkah kaki raja Kaki seribu yang sedang menuju istana raja Naga. Hidesato melihat sepasang mata bak bola api yang sangat terang bergerak semakin mendekat. Raja Naga berdiri gemetar di samping Hidesato.
“Ka…Kaki seribu! Itu raja Kaki seribu! Ia datang untuk memangsa kami! Kini saatnya kau membunuhnya,” seru raja Naga.
Hidesato mengikuti arah yang ditunjuk raja Naga. Dan memang di belakang sepasang bola api itu, Hidesato melihat tubuh raja Kaki seribu yang sangat panjang dan besar merayapi punggung gunung dan semakin mendekati istana raja Naga.
“Jangan takut! Aku pasti bisa membunuhnya. Tolong ambilkan panah dan busurku!” kata Hidesato.
Raja segera membawakan panah dan busur Hidesato. Ternyata hanya tinggal 3 anak panah yang tersisa. Dengan hati-hati Hidesato mengarahkan busurnya ke arah Kaki seribu dan anak panah pun melesat dengan cepat.
Anak panah itu mengenai tepat di antara dua bola mata raja Kaki seribu. Namun alih-alih menancap di tubuhnya, anak panah itu mental dan terjatuh. Hidesato segera mengambil anak panahnya yang kedua dan membidikkannya. Kali ini pun tepat mengenai tempat yang sama. Dan tidak sedikit pun membuat luka di badannya. Raja Kaki seribu ternyata kebal terhadap senjata. Raja Naga semakin gemetar ketakutan.
Kini anak panah Hidesato hanya tinggal satu buah lagi. Jika ia tidak berhasil kali ini, maka mereka semua akan habis dimangsanya. Tiba-tiba ia ingat bahwa ia pernah mendengar sesorang berkata saliva manusialah yang bisa melumpuhkan Kaki seribu. Tapi ini bukanlah Kaki seribu biasa. Panjangnya saja tujuh kali diameter gunung. Tapi tidak ada salahnya mencoba, pikir Hidesato.
Ia mengambil anak panahnya yang terakhir dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Lalu dengan sangat cepat ia membidik targetnya. Kali ini pun anak panahnya mendarat di tempat yang sama. Namun kali anak panahnya menancap dengan kuat tepat di sasaran. Dan Bum! Tubuh Kaki seribu terhempas ke tanah lalu mati. Para penghuni istana yang diam-diam menonton dengan penuh harap bersorak gembira. Kini mereka terbebas dari terror yang selama ini menghantui mereka.
Pesta pun kembali digelar. Kali ini lebih meriah dari yang sebelumnya. Hidangan terbaik dihidangkan dan minuman yang paling special pun dituangkan. Raja berusaha membujuk Hidesato untuk tinggal di istana sebagai ucapan terima kasihnya. Namun Hidesato dengan ramah menolaknya. Ia teringat akan keluarganya yang ia tinggalkan dan karena tugasnya telah selesai kini ia harus kembali pada mereka.
Dengan berat hati, raja Naga dan keluarganya melepas kepergian Hidesato. Sebagai tanda terima kasih, raja memaksa Hidesato untuk menerima hadiah yang ia berikan. Puluhan prajurit istana Naga diperintahkan untuk membawakan hadiah-hadiah tersebut. Dan karena mereka akan menempuh perjalanan di darat, mereka berubah wujud menjadi manusia dengan hiasan naga di kepala mereka. Hadiah raja Naga terdiri dari: sebuah lonceng tembaga yang sangat besar, sekarung beras, satu gulungan kain sutra, sebuah panic untuk memasak dan sebuah lonceng kecil. Setelah mengucapkan selamat tinggal Hidesato meninggalkan istana diiringi ucapan terima kasih dari seluruh penghuni istana.
Singkatnya Hidesato tiba dengan selamat di rumahnya. Keluarganya yang telah menunggunya dengan cemas, menyambut kedatangannya dengan gembira. Setelah menyerahkan semua hadiah yang dibawanya, prajurit yang membawa hadiah-hadiah tersebut menghilang.
Hadiah-hadiah itu ternyata bukan benda biasa. Semuanya adalah benda-benda ajaib. Hidesato menghadiahkan lonceng besarnya ke kuil untuk dibunyikan setiap jam 12 siang. Suaranya bisa terdengar hingga puluhan desa di sekitarnya.
Kain sutranya tidak pernah habis meskipun sudah ia potong untuk membuat pakaian seluruh keluarganya. Apapun yang istrinya masak di panci ajaib akan menjadi masakan yang lezat meskipun tidak ditambahkan bumbu ke dalamnya. Beras yang dibawanya tidak pernah berkurang sedikit pun meskipun ia dan keluarganya telah menggunakannya berhari-hari. Hidesato pun membaginya kepada tetangga-tetannga yang memerlukannya.
Kebiasaannya membagi-bagikan beras itulah yang membuatnya dijuluki Sang Juragan Beras.
Demikianlah cerita rakyat prajurit pemberani dari Jepang yang bernama Hidesato.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar